Friday, November 4, 2011

QURAN DAN SELF-REFERENCE

QURAN DAN SELF-REFERENCE


Copyright © Muhammed Asadi 1999


Sekitar 100 tahun yang lalu, terjadi suatu krisis yang bersifat fundamental dalam dunia matematika, suatu guncangan sederhana yang berdampak terhadap seluruh logika sampai adanya pembenahan. Para logikawan (mereka yang menggeluti ilmu logika) menyadari bahwa mereka telah mengabaikan konsep "Self-reference" sama sekali. Selama berabad-abad, aturan Aristoteles yaitu "Excluded middle" kerap kali digunakan. Peraturan ini adalah suatu proposisi yang menyatakan, “Setiap proposisi dapat bernilai benar atau salah.” Seseorang yang cukup pintar menanyakan kebenaran proposisi ini. Bagaimana jika proposisi yang menyatakan bahwa setiap proposisi dapat bernilai benar atau salah itu sendirinya salah? Semua orang telah tidak menyadari hal itu selama berabad-abad. Tapi tidak begitu dengan Quran. Jika Quran seperti apa yang ia nyatakan, maka ia harus awas terhadap konsep self-reference, yang diaplikasikan terhadap pernyataan-pernyataan yang dikandungnya.

Paul Davies, profesor Fisika Matematika di University of Adelaide di Australia, dalam bukunya, The Mind of God (1992), berbicara bagaimana self-reference mengguncang dasar logika dan bagaimana hal ini dibenahi atau diselesaikan:

Meskipun kebenarannya bisa dikatakan bersifat buatan, interpretasi secara formal bidang matematika menerima pukulan dahsyat pada tahun 1931. Dalam tahun ini matematikawan dan logikawan Austria Kurt Godel membuktikan teorema yang sampai mengakibatkan bahwa terdapat pernyataan matematis dimana tidak ada suatu prosedur sistematis yang dapat menentukan apakah pernyataan tersebut bernilai benar atau salah…. Fakta bahwa terdapat proposisi dalam matematika yang tidak bisa ditentukan kebenarannya merupakan suatu kejutan luar biasa, karena ini tampaknya menjatuhkan seluruh landasan logika dari disiplin ilmu yang bersangkutan.

Teorema Godel bermuncul dari gugusan paradoks yang mengitari permasalahan self-reference… Matematikawan dan filsuf ternama Bertrand Russell mendemonstrasikan bahwa keberadaan paradoks tersebut menghantam ke pusat jantung logika, dan menjatuhkan usaha apapun, yang bersifat sederhana dan langsung ke inti permasalahan, untuk membangun matematika secara kokoh berdasarkan landasan logika. Godel lalu mengadaptasi kesulitan yang ditimbulkan oleh self-reference ini terhadap disiplin ilmu matematika secara cerdas dan tidak pada umumnya. Beliau mempertimbangkan hubungan antara deskripsi matematika dan matematika itu sendiri… Dengan cara ini, operasi logika mengenai matematika dapat dibuat agar mampu berhubungan dengan operasi matematis itu sendiri. Dan inilah intisari dari sifat self-reference dari pembuktian Godel. Dengan mengidentifikasikan suatu subjek dengan objek bahasan – memetakan deskripsi matematika terhadap matematika itu sendiri – beliau menemukan suatu lingkaran (loop) paradoks Russellian yang secara langsung berujung kepada tidak dapat dihindarkannya proposisi-proposisi yang tidak bisa ditentukan nilai kebenarannya. (Davies 1993:100-101).

Godel dan Einstein

Self-reference mempertimbangkan “penggunaan” dan “penyebutan” kata-kata. Saat anda “menggunakan” suatu kata, maka yang disiratkan adalah makna kata tersebut. Saat anda “menyebutkan” suatu kata, anda sedang berbicara mengenai kata tersebut dan bukan maknanya. Setiap kalimat, oleh karena itu, dapat berbicara mengenai kata-kata yang ia gunakan atau makna dari kata-kata tersebut. Sebagai contoh, jikalau saya berkata “Remaja datang sebelum dewasa,” maka secara logika pernyataan ini salah bila tanpa spesifikasi lebih lanjut. Alasannya adalah bahwa dalam kamus, “Dewasa (katanya bukan maknanya)” dicantumkan sebelum “Remaja (katanya bukan maknanya).” Karena Quran berbicara mengenai banyak hal dan memakai banyak kata yang kadangkala mengulang-ulangnya berkali-kali, jika penulis Quran adalah seorang manusia atau sekumpulan manusia, seharusnya kita mendapatkan banyak sekali kesempatan untuk menemukan kesalahan logika self-reference dalam buku ini. Namun kita akan menemukan suatu yang menakjubkan ketika kita mengaplikasikan pemeriksaan self-reference terhadap Quran.

Jika saya berkata, "There is a mistake in the Bible," (terdapat kesalahan dalam Bible) kepada sekumpulan pastor, akan terjadi kegusaran besar dan orang-orang akan merespon dengan penuh emosi, “Tidak ada kesalahan dalam Bible. Tunjukkan kepada kami kesalahan tersebut.” Saya dapat secara logis menunjukkan kesalahan dalam buku tersebut dengan membaca suatu kalimat seperti, "David made a mistake…" (Daud berbuat kesalahan). Lihatlah, kata "mistake" (kesalahan) terdapat dalam Bible. Nah kalau Bible berkata, "There is NO mistake in this book," (Bahwa TIDAK ADA kesalahan dalam buku ini), maka ia secara logika telah terbukti salah, berdasarkan contoh di atas. Namun, untungnya sampai saat ini, Bible tidak pernah membuat pengakuan seperti itu, namun Quran membuat pengakuan semacam itu!

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Qur'an? Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan (Ikhtelaafun) yang banyak (Kathirun) di dalamnya. Quran 4:82

Arti dari pernyataan (penggunaan kata-kata) di atas jelas. Dengan mempertimbangkan sifat dari Buku itu dan topik yang begitu banyak yang ia bahas, jikalau Buku ini dibuat oleh tangan manusia, maka akan mudah untuk mencari pertentangan di dalamnya. Jika kita memperhatikan “penyebutan” kata-kata yang digunakan, kita akan mendapatkan suatu gambaran yang lain. Marilah kita tengok apakah Quran lulus ujian dari kesalahan berdasarkan kriteria "self reference" dengan berdasarkan “penyebutan” kata-kata.

Dalam hal “penyebutan” kata pertentangan (Ikhtilafun), makna yang timbul adalah bahwa jikalau buku ini buatan manusia, seharusnya ia mengandung banyak (Kathirun) Ikhtilafun (pertentangan yaitu katanya). “Banyak” berarti lebih dari satu. Untuk memeriksa berapa kali kata "Ikhtilafun (pertentangan)" disebutkan dalam Quran, kita menggunakan indeks dari seluruh kata Arab yang ada dalam Quran. Berkat buah keringat Faud Abd al Baqi, kita telah mempunyai indeks Quran semacam itu sekarang, yang berjudul Al- Moojam al Mofahris.

Memang benar bahwa penulis Quran sadar betul akan konsep self-reference dan Quran lulus ujian “penyebutan” kata-kata karena kata "Ikhtilafun (pertentangan)," disebutkan hanya SATU KALI dalam keseluruhan ayat Quran, yaitu pada ayat di atas. Tidak banyak (Kathirun) kali, namun satu kali saja.

Beberapa orang menggabungkan dua kata terakhir dari ayat ini: Banyak (Kathirun) Petentangan (Ikhtilafun). Lalu mereka berkata bahwa mereka bisa menemukan bahwa Quran menyebutkan kata-kata Ikhtilafun Kathirun (Banyak Pertentangan) dan ayat tersebut berkata bahwa jika buku ini datang dari selain Allah maka ia akan mengandung Ikhtilafun Kathirun (Banyak Pertentangan). Ini adalah argumentasi yang sangat cerdik dalam usaha membuktikan Quran itu salah, namun belum cukup cerdas tampaknya.

Mereka yang mencoba untuk menjatuhkan Quran dengan menggabungkan dua kata terakhir mengimplikasikan bahwa, dalam hal penyebutan kata-kata, jika Quran mengandung kata-kata "Ikhtilafun Kathirun (banyak pertentangan)," maka ia berasal dari selain Allah. Pernyataan dalam Quran tidaklah berkata demikian. Pernyataan tersebut menyatakan bahwa buku-buku yang datang dari selain Allah dapat mengandung kata-kata "Ikhtilafun Kathirun," namun begitupun suatu buku yang datang dari Allah. Jadi mereka terjatuh dalam konsep yang terkenal dalam ilmu logika yaitu Fallacy of the Converse. Hujan berarti jalanan yang basah tapi jalanan yang basah belum tentu berarti hujan. Mirip seperti itu, Quran tidak menyatakan “Jika ia mengandung Ikhtelafun Kathirun (banyak pertentangan) ia bersumber dari selain Allah." Quran tidak membuat pernyataan seperti itu. Karena kata penjelas dari ayat tersebut, "Kathirun", yaitu "banyak" dikeluarkan dari konteks tersebut.

Isa (Yesus) Seperti Adam


Sesungguhnya misal (penciptaan) Isa di sisi Allah, adalah seperti (penciptaan) Adam. Allah menciptakan Adam dari tanah, kemudian Allah berfirman kepadanya: "Jadilah" (seorang manusia), maka jadilah dia. Quran 3:59

Makna pernyataan ini jelas. Isa dilahirkan tanpa ayah itu seperti penciptaan Adam. Teori baru yang disebut "mitochondrial eve" mengenai keturunan umat manusia memberikan kesahan lebih lanjut terhadap perbandingan di atas, karena dari seorang wanitalah seluruh umat manusia diciptakan dan Isa (Yesus) juga hanya mempunyai seorang ibu.

Namun, dalam hal penyebutan kata, dikatakan bahwa kata “Isa (Yesus)” dalam Quran sama seperti kata "Adam." Menakjubkan untuk dicatat kalau ternyata memang benar bahwa kata “Isa (Yesus) [halaman 494 dari Index]" dalam penyebutannya dalam Quran sama seperti penyebutan kata "Adam [halaman 24 dari Index]." Kedua kata tersebut muncul dalam Quran 25 kali. Bukan hanya itu, mereka juga mempunyai urutan yang sama. Ayat yang menyatakan bahwa kedua kata tersebut itu mirip adalah ayat dimana terjadi penyebutan yang ke-7 kalinya dari kata “Isa (Yesus)” dan kata "Adam" dalam Quran.

Contoh dari "Anjing"


Dan kalau Kami menghendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat) nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaannya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkannya lidahnya dan jika kamu membiarkannya dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikian itulah perumpamaan ORANG-ORANG YANG MENDUSTAKAN AYAT-AYAT KAMI. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berpikir. (Quran 7:176).

Kata Arab untuk anjing adalah "Kalb (bentuk tunggal)". Kata “anjing” dalam benutk tunggalnya muncul dalam Quran sebanyak 5 kali. Pernyataan “orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami” juga muncul sebanyak 5 kali dalam Quran. Surah 7:176 adalah pertama kalinya kata “anjing (bentuk tunggal)” disebutkan dalam Quran (lihat halaman 614 dari Index yang disebutkan di atas), dan juga pertama kalinya pernyataan “orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami (halaman 583-584 dari Index)," disebutkan. Oleh karena itu, contoh dari “orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami” sama seperti contoh dari anjing (Kalb), dalam hal penyebutan kata-kata.

Tidak Sama


"Dan TIDAKLAH sama orang yang buta (al-Aama) dengan orang yang melihat (al-Baseer). dan tidak (pula) sama gelap gulita (az-Zulumaat) dengan cahaya (an-Nur). dan tidak (pula) sama yang teduh (az-Zill) dengan yang panas (al-Haroor). (Quran 35:19-21)

[Catatan: Tolong dicamkan saat memeriksa hitungan dalam Index bahwa anda memperhatikan kata “al”. Sebagai contoh, "cahaya (an-nur)," berbeda dengan hanya "cahata (nur)." Oleh karena itu perhatian perlu diberikan, ketika menghitung, kepada hal yang “spesifik” atau yang “umum” dari penggunaan kata.]

Kata "yang buta (al-aama)" muncul dalam Quran 8 kali (halaman 488 dari Index). Kata yang digunakan untuk “yang melihat” di atas, (al-baseer), muncul 9 kali (halaman 121-122 dari Index). Oleh karena itu “yang buta” dan “yang melihat” tidaklah sama. Pernyataan Quran di atas yang menyebutkan “yang buta” dan “yang melihat” tidaklam sama adalah kali ke-5 kata “yang melihat” digunakan dalam Quran dan juga kali ke-5 kata “yang buta” digunakan.

Kata yang digunakan untuk “gelap gulita”, (az-Zulumat), muncul 12 kali (lihat halaman 438-439 dari Index) dalam Quran; kata untuk “cahaya”, (an-Nur), muncul 13 kali (lihat halaman 725 dari Index). Maka “gelap gulita (az-Zulumat)," tidaklah sama dengan "cahaya (an-Nur)." Suatu trend yang kita dapat tangkap dari hal di atas tampak pula dari kata-kata ini. Pernyataan di atas yang menyebutkan bahwa “cahaya” tidak sama dengan “gelap gulita” adalah kali ke-10 kedua kata tersebut digunakan secara beruturan dalam Quran. Hal lain yang menakjubkan yang dapat kita tangkap adalah pernyataan yang sama diulang pada Surah 13: 16, dan trend yang sama muncul kembali (yang membuatnya mustahil untuk menjadi sebuah kebetulan belaka):

…Katakanlah: "Adakah sama orang buta dan yang dapat melihat, atau samakah gelap gulita dan terang benderang" (Quran 13:16)

Jika kita memerika urutannya, maka merupakan kali ke-6 kata "gelap gulita (az-Zulumat)," digunakan dan kali ke-6 kata "cahaya (an-Nur)," digunakan dalam Quran. Kita dapat melakukan hal yang sama dengan dengan bagian pertama yang telah kita bahas di atas. "Yang buta (al-Aama)" tidaklah sama dengan "yang melihat (al-baseer)". Dalam ayat di atas, Surah 13, adalah kali ke-3 kata "yang buta (al-aama)" digunakan dan kali ke-3 kata "the seeing (al-baseer)," digunakan dalam Quran (dalam ayat yang mengatakan bahwa yang satu tidaklah sama dengan yang lainnya). Dalam Surah 35 di atas, kita dapat melihat bahwa merupakan kali ke-5 kedua kata digunakan dalam Quran. Trend lainnya yang muncul dari hal di atas adalah: Setiap kali Quran mengatakan sesuatu yang tidak sama dengan sesuatu yang lain, hal yang positif (contohnya "yang melihat" (+) sebagai lawan dari "yang buta" (-) dan "cahaya" (+) sebagai lawan dari "gelap gulita" (-)) selalu disebutkan satu kali lebih banyak dari hal yang negatif. Seperti yang dapat kita lihat di atas, "yang melihat (al-baseer)," disebutkan 9 kali berlawanan dengan 8 kali kemunculan kata "yang buta (al-aama)." Sama seperti hal di atas, "cahaya (an-Nur)" disebutkan 13 kali berlawanan dengan 12 kali kemunculan "gelap gulita (az-zulumat)," dalam Quran. Contoh-contoh di atas seharusnya cukup untuk memastikan trend luar biasa dalam Quran ini namun marilah coba satu lagi. Pernyataan di atas dalam Surah 35 berlanjut sebagai berikut:

…nor dan tidak (pula) sama yang teduh (az-Zill) dengan yang panas (al-Haroor) (Quran 35:21)

Kata yang digunakan untuk "yang teduh (az-Zill)," disebutkan 4 kali dalam Quran (lihat halaman 434 dari Index) dan kata "yang panas (al-Har)," disebutkan 3 kali. Pernyataan (35:21) yang menyebutkan bahwa "yang teduh" tidaklah seperti "yang panas," adalah kali ke-3 kedua kata "az-Zill" dan "al-har" digunakan dalam Quran.

Apakah Quran Gagal?


Katakanlah: "Tidak sama yang buruk (al-Khabis) dengan yang baik (at-Tayyab) (Quran 5:100)

Ketika kita sampai pada pernyataan di atas dalam Quran mengenai ketidaksamaan, hal yang disebutkan muncul dengan jumlah kemunculan yang sama. Kata "yang buruk (al-Khabis)," disebutkan 7 kali (lihat halaman 226 dari Index) dan kata, "yang baik (at-Tayyab)," jugalah 7 kali (lihat halaman 432). Apakah Quran gagal? Berdasarkan trend di atas, hal negatif (yang buruk) haruslah satu kali lebih sedikit dari hal yang positif (yang baik). Mengapa “yang buruk” kelebihan satu kali dari semestinya?

Quran hanyalah gagal jikalau kita memotong pernyataan di tengah-tengah kalimat. Ayat tersebut berlanjut:

Katakanlah: "Tidak sama yang buruk dengan yang baik, MESKIPUN banyaknya yang buruk itu menarik hatimu, maka bertakwalah kepada Allah hai orang-orang berakal, agar kamu mendapat KEBERUNTUNGAN (Quran 5:100)"

Jika kita berhati-hati, seperti yang disebutkan ayat di atas, kita dapat melihat bahwa Allah menggabungkan semua “yang buruk (al-Khabis)" dalam penggunaan kata, yaitu semua bentuk kata yang berbeda dan tidak hanya "yang buruk (al-Khabis)”, untuk membedakan antara yang buruk dengan yang baik. Oleh karena itu, "yang buruk (al-Khabis)" dipisahkan dari "yang baik (at-Tayyab)."

…supaya Allah memisahkan (golongan) yang buruk dari yang baik dan menjadikan (golongan) yang buruk itu sebagiannya di atas sebagian yang lain, lalu KESEMUANYA ditumpukkan-Nya …” (Quran 8:37)

Bertindak berdasarkan pernyataan di atas dalam “penyebutan” kata, jika kita “menumpukkan” semua "yang buruk (Khabis)," dalam bentuknya yang berbeda-beda yang digunakan dalam Quran, dan dengan bentuk akar yang berbeda, kita akan mendapatkan hasil 16 kali kata "yang buruk" disebutkan berlawanan dengan 7 kali kata "yang baik" disebutkan. Maka yang baik dan yang buruk tidaklah sama jika kita “tumpukkan” meskipun banyaknya "yang buruk" (16 lawan 7) menarik hati kita.

Ini dengan sendirinya mengatakan ketidakmungkinan peniruan Quran. Bagaimana mungkin seseorang atau sekelompok orang dapat menciptakan suatu buku yang secara matematis kokoh, tanpa pendidikan formal dalam ilmu logika atau matematika dan tanpa program komputer atau indeks terkomputerisasi?

Bulan dan Hari


Dalam Index Quran yang disebutkan di atas, jikalau kita melihat jumlah kemunculan kata bulan (Shahr), maka akan ditemukan 12 kali. Terdapat 12 kata “bulan” dalam Quran. Jumlah kemunculan kata “hari” dalam bentuk tunggal (Yaum atau Yauma) adalah 365 kali.

Penemuan ini dalam Quran membuktikan seperti yang telah dikatakan di atas bahwa Quran tidaklah mungkin hasil karya seorang atau sekelompok manusia yang hidup di Gurun Pasir Arabia 1400 tahun yang lalu. Ini juga dapat bertindak sebagai bukti bahwa Quran tidaklah pernah diubah-ubah. Sebagai contoh, pernyataan yang menyebutkan, "ini adalah seperti itu," mempunyai urutan kemunculan yang sama dalam hal “penyebutan” kata. Ayat yang mengatakan bahwa “Isa (Yesus) seperti Adam," sebagai contoh, adalah kali ke-7 kata “Isa (Yesus)” disebutkan dan kali ke-7 pula kata “Adam” disebutkan. Jikalau ada pengubahan atau perusakan, dalam penyusunan Surah atau penomoran ayat atau penambahan ataupun pengurangan, susunan ini akan hancur.

Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran (Quran 54:49)

Dan segala sesuatu pada sisi-Nya ada ukurannya (Quran 13:8)

Daftar Pustaka


1. Penemuan ini berdasarkan kepada kuliah "The Amazing Qur’an." Tingkat akurasi dari “penyebutan kata” dalam Index Al Moojam ul Mofahris telah diperiksa berkali-kali oleh saya sendiri. Nomor halaman diberikan bagi siapapun yang ingin memastikan sendiri.

2. Asadi, Muhammed. 1992. Koran: A Scientific Analysis. Lahore, Pakistan.

3. Davies, Paul. 1993. The Mind of God. New York. Touchstone Books.

Catatan


Bible tidaklah bebas dari paradoks (pertentangan) konsep self-reference. Paradoks yang dikenal dengan nama "Epimenides paradox" sangat amat diketahui. Paulus, yang menulis kepada Titus, berbicara tentang orang-orang Kreta:

12. One of themselves, even a prophet of their own said, The Cretans are always liars, evil beasts, slow bellies. 13. This witness is true…. (Titus 1:12-13- The Bible)

12. Seseorang dari kalangan mereka, nabi mereka sendiri, pernah berkata: “Dasar orang Kreta pembohong, binatang buas, pelahap yang malas.” 13. Kesaksian itu benar…. (Titus 1:12-13)

Analisa berdasarkan konsep self-reference memberitahukan kepada kita bahwa jika pernyataan orang Kreta adalah “always liars” atau “pembohong” dinilai sebagai benar, maka karena "one of themselves [a Cretan]" atau “Seseorang dari kalangan mereka [seorang Kreta]” berkata demikian, maka pastilah ini merupakan suatu kebohongan. Jadi jikalau pernyataan itu benar maka ia adalah suatu kebohongan (berdasarkan konsep self-reference). Hanya jika pernyataan bahwa "Cretans are always liars" atau “orang Kreta itu pembohong” bernilai salah-lah, maka "witness" atau “Kesaksian” itu bisa benar. Jadi ini merupakan paradoks, suatu kontradiksi yang tidak mungkin diselesaikan. Ini menunjukkan bahwa penulis surat ke Titus tidak tahu apa-apa mengenai yang dia sedang bicarakan.

No comments:

Post a Comment